Budaya dan agama
seringkali dikatakan tak dapat bersatu.
Ternyata hal itu sudah
tidak realistis lagi karena banyak kegiatan keagamaan seperti ibadah-ibadah di
gereja yang juga memadukan unsur etnis ke dalamnya.
Seperti yang pernah saya
lakukan beberapa waktu yang lalu di gereja saya.
Di GMIT (Gereja Masehi Injili di Timor) budaya dan gereja melekat menjadi satu, karena orang ntt yang
beragama pastinya berbudaya :)
Dalam perayaan penutupan
bulan keluarga dan hut GMIT tgl 31 Oktober 2013, saya bersama beberapa teman di gereja mengadakan
parade tari-tarian daerah. Tari-tarian yang diambil dari suku alor, rote,
sumba, sabu, dan timor. Masing-masing tarian dengan unsur dan ceritanya...
Tari-tarian tersebut sisip pada beberapa bagian dalam tata ibadah di gereja dan hal yang sama
juga dilakukan oleh beberapa gereja lainnya di GMIT.
Tapi.......yang membuat
kebaktian perayaan yang kami susun kali itu menjadi lebih spesial dibanding di tempat lain adalah penataan
gedung kebaktian, pakaian yang digunakan oleh jemaat yang hadir, para pendeta,
para petugas, dll semuanya berbau etnis. Dan yang lebih menghebohkan adalah
para penari. Mereka adalah penari profesional yang sering tampil di
acara/perlombaan tingkat nasional maupun mancanegara. Dan persiapan untuk tata
ibadah tersebut memakan waktu kurang lebih 2 bulan.
sinopsis dari tari-tarian yang dibawakan:
TARI MAI MA LEDO HE LA’U
(Etnis Sabu)
MAI MA
LEDO HE LA’U yang artinya mari menari bersama-sama.
Tari
dari etnis Sabu ini menggambarkan keceriaan gadis-gadis, saat menyambut
purnama.
Tarian ini biasa ditarikan
pada malam hari, di daerah pantai maupun
ditengah-tengah perkampungan masyarakat Sabu. Dengan ekspresi gembira mereka
mengajak masyarakat untuk mengucap syukur atas purnama yang datang dan semua masyarakat yang terlibat dalam upacara
purnama tersebut turut bergembira.
Tarian SABU
TARI TONGU WATU
(Etnis Sumba)
Tari
Tongu Watu menggambarkan kehidupan masyarakat Sumba dimana kebersamaan atau
gotong royong merupakan hal yang penting dan wajib. Salah satunya adalah dalam
upacara ritual penarikan batu kubur. Lelah
dan letih terkikis oleh pekikan dan suara tinggi rendah sebagai pembangkit
semangat kebersamaan.
Tarian SUMBA
TARI KAIM HUTU HELONG MARINA
(Kami Mayarakat Helong Bergembira)
(Etnis Helong)
Pada mulanya tarian biasa digunakan untuk
penyambutan para tamu-tamu yang hadir saat mereka merayakan panen. Sebagai
ungkapan kegembiraan mereka menari bersuka cita.
Namun setelah digarap dengan garapan kreasi
baru, tarian ini menceritakan tentang ungkapan kegembiraan wanita-wanita dari
suku Helong Nusa Tenggara Timur. Mereka turut merasa bangga atas keberadaan satwa komodo yang ada di
provinsi NTT.
Sebagai bentuk dukungan tersebut mereka
menari bersuka cita mendukung satwa komodo yang sudah terkenal di seluruh
dunia.
tarian TIMOR HELONG
TARI
TOKESI
(Etnis
Alor)
Saya bersama para Penari tarian ALOR
Tarian ALOR
TARI ANAK TE’O
RENDA
(Etnis
Rote)
Istilah
Teo Renda sendiri adalah wanita penenun atau yang sedang merenda.
Pengertian
tari Te’o Renda dalam bingkai tradisi masyarakat Rote adalah peristiwa sosial,
dimana masyarakat berkumpul bersama saat purnama atau setelah merayakan hasil
panen. Ditengah acara tersebut para
wanita dengan riang gembira
menari bersendau gurau, tentunya untuk
mencari perhatian para pemuda yang hadir.
Te’o
Renda dalam judul karya tari garapan baru ini merupakan sebuah gambaran yang mengisahkan tentang gadis-gadis dalam
mempersiapkan diri untuk
menerima
pinangan dari para pemuda.
Ungkapan
rasa gembira para pria dan wanita saat menantikan acara pinangan, karena
peristiwa ini merupakan kesan terdalam dalam hidup mereka ditengah-tengah
lingkungan masyarakat ampon mereka.
Para
wanita menari dengan lincah menggoda sang pujaannya, sementara sang pria pun
dengan bangga menunjukan
kegagahannya yaitu dengan menari foti.
Tarian ROTE
Dari kiri: Pdt. Venty Sutrisno
menggunakan pakaian adat SUMBA, 5 orang pembawa persembahan menggunakan pakaian
adat ROTE, paling kanan Pdt. Mercy Pattikawa menggunakan pakaian adat ALOR
Dari Kiri: Pdt. Venty Sutrisno, Pdt.
Jack Karmany, Cavik. Mitha Djawa, Cavik. Jelly Touselak, Pdt. Mercy pattikawa
Saya sebelah kanan (menggunakan
pakaian adat ROTE) bersama teman saya Mitha Djawa (menggunakan pakaian adat SABU)
Nah artinya tak ada
yang salahkan dengan budaya kita…yang salah itu cara pandang kita saja…semuanya
akan tampak indah di Mata Tuhan…
Sekian dulu ya……..
Tuhan berkati
2 komentar:
Benar kk, sekarang budaya bisa dipadukan dengan agama.. Karena di tempatku, kadang ibadahnya dihiasi dengan tarian2 dayak, memakai baju adat, dll.. Ternyata Indonesia itu menarik ya, banyak budaya diiringi beberapa agama, yg kalau dipadukan bisa menjadi kekayaan budaya negeri..
Silakan berkunjung dan memberi komentar di Tips Hidup Positif Terima Kasih
Betul betul betul. Majukan budaya NTT.
Posting Komentar