Selasa, 09 Desember 2014

kebaktian di gereja penuh unsur budaya NTT

Budaya dan agama seringkali dikatakan tak dapat bersatu. 

Ternyata hal itu sudah tidak realistis lagi karena banyak kegiatan keagamaan seperti ibadah-ibadah di gereja yang juga memadukan unsur etnis ke dalamnya.
Seperti yang pernah saya lakukan beberapa waktu yang lalu di gereja saya.

Di GMIT (Gereja Masehi Injili di Timor) budaya dan gereja melekat menjadi satu, karena orang ntt yang beragama pastinya berbudaya :) 

Dalam perayaan penutupan bulan keluarga dan hut GMIT tgl 31 Oktober 2013, saya bersama beberapa teman di gereja mengadakan parade tari-tarian daerah. Tari-tarian yang diambil dari suku alor, rote, sumba, sabu, dan timor. Masing-masing tarian dengan unsur dan ceritanya...
Tari-tarian tersebut sisip pada beberapa bagian dalam tata ibadah di gereja dan hal yang sama juga dilakukan oleh beberapa gereja lainnya di GMIT. 

Tapi.......yang membuat kebaktian perayaan yang kami susun kali itu menjadi lebih spesial dibanding di tempat lain adalah penataan gedung kebaktian, pakaian yang digunakan oleh jemaat yang hadir, para pendeta, para petugas, dll semuanya berbau etnis. Dan yang lebih menghebohkan adalah para  penari. Mereka adalah penari profesional yang sering tampil di acara/perlombaan tingkat nasional maupun mancanegara. Dan persiapan untuk tata ibadah tersebut memakan waktu kurang lebih 2 bulan.

sinopsis dari tari-tarian yang dibawakan:

TARI MAI MA LEDO HE LA’U
(Etnis Sabu)

MAI MA LEDO HE LA’U yang artinya mari menari bersama-sama.
Tari dari etnis Sabu ini menggambarkan keceriaan gadis-gadis, saat menyambut purnama.
Tarian ini biasa ditarikan pada malam hari,  di daerah pantai maupun ditengah-tengah perkampungan masyarakat Sabu. Dengan ekspresi gembira mereka mengajak masyarakat untuk mengucap syukur atas purnama yang datang dan  semua masyarakat yang terlibat dalam upacara purnama tersebut turut bergembira.

 Tarian SABU


TARI TONGU WATU
(Etnis Sumba)


            Tari Tongu Watu menggambarkan kehidupan masyarakat Sumba dimana kebersamaan atau gotong royong merupakan hal yang penting dan wajib. Salah satunya adalah dalam upacara ritual penarikan batu kubur.  Lelah dan letih terkikis oleh pekikan dan suara tinggi rendah sebagai pembangkit semangat kebersamaan.
 Tarian SUMBA




TARI KAIM HUTU HELONG MARINA
(Kami Mayarakat Helong Bergembira)
(Etnis Helong)

Pada mulanya tarian biasa digunakan untuk penyambutan para tamu-tamu yang hadir saat mereka merayakan panen. Sebagai ungkapan kegembiraan mereka menari bersuka cita.

Namun setelah digarap dengan garapan kreasi baru, tarian ini menceritakan tentang ungkapan kegembiraan wanita-wanita dari suku Helong Nusa Tenggara Timur. Mereka turut merasa bangga  atas keberadaan satwa komodo yang ada di provinsi NTT.


Sebagai bentuk dukungan tersebut mereka menari bersuka cita mendukung satwa komodo yang sudah terkenal di seluruh dunia.

tarian TIMOR HELONG



TARI TOKESI
(Etnis Alor)

            Tari ini menceritakan perjuangan para pria di Alor saat memenangkan pertempuran melawan musuh. Ketika pulang mereka disambut oleh para gadis-gadis dan mereka bergembira menyambut kemenangan.
Saya bersama para Penari tarian ALOR

Tarian ALOR



TARI ANAK TE’O  RENDA
(Etnis Rote)

Istilah Teo Renda sendiri adalah wanita penenun atau yang sedang merenda.
Pengertian tari Te’o Renda dalam bingkai tradisi masyarakat Rote adalah peristiwa sosial, dimana masyarakat berkumpul bersama saat purnama atau setelah merayakan hasil panen. Ditengah acara tersebut para  wanita  dengan riang gembira menari bersendau gurau, tentunya untuk  mencari perhatian para pemuda yang hadir.

Te’o Renda  dalam judul  karya tari garapan baru  ini merupakan sebuah gambaran yang  mengisahkan tentang gadis-gadis dalam mempersiapkan diri untuk
menerima pinangan dari para pemuda.

Ungkapan rasa gembira para pria dan wanita saat menantikan acara pinangan, karena peristiwa ini merupakan kesan terdalam dalam hidup mereka ditengah-tengah lingkungan masyarakat ampon mereka.

Para wanita menari dengan lincah menggoda sang pujaannya, sementara sang pria pun dengan bangga  menunjukan kegagahannya  yaitu dengan menari foti.
Tarian ROTE

Dari kiri: Pdt. Venty Sutrisno menggunakan pakaian adat SUMBA, 5 orang pembawa persembahan menggunakan pakaian adat ROTE, paling kanan Pdt. Mercy Pattikawa menggunakan pakaian adat ALOR



Dari Kiri: Pdt. Venty Sutrisno, Pdt. Jack Karmany, Cavik. Mitha Djawa, Cavik. Jelly Touselak, Pdt. Mercy pattikawa



Saya sebelah kanan (menggunakan pakaian adat ROTE) bersama teman saya Mitha Djawa (menggunakan pakaian adat SABU)



Nah artinya tak ada yang salahkan dengan budaya kita…yang salah itu cara pandang kita saja…semuanya akan tampak indah di Mata Tuhan…

Sekian dulu ya…….. Tuhan berkati

2 komentar:

Holly mengatakan...

Benar kk, sekarang budaya bisa dipadukan dengan agama.. Karena di tempatku, kadang ibadahnya dihiasi dengan tarian2 dayak, memakai baju adat, dll.. Ternyata Indonesia itu menarik ya, banyak budaya diiringi beberapa agama, yg kalau dipadukan bisa menjadi kekayaan budaya negeri..
Silakan berkunjung dan memberi komentar di Tips Hidup Positif Terima Kasih

Unknown mengatakan...

Betul betul betul. Majukan budaya NTT.